Thursday, April 10, 2008

Jalan ketiga; selaraskah dengan ekologisme?

Baik Giddens (1999) dan Capra (2000) memiliki kesamaan dalam menyajikan solusi mendasar atas problema kemanusiaan dalam konteks kekinian. Keduanya memiliki ide yang untuk mendatasi persoalan-persoalan lingkungan dan peradaban. Gidden menawarkan apa yang disebut sebagai “jalan ketiga” sementara Capra (2000) sangat concern dengan “Ekologisme”. Keduanya adalah alternatif “baru” untuk peradaban yang lebih baik, semangat untuk memperbaiki perdaban manusia yang telah terbukti gagal
Pada pembahasan sebab kegagalan yang diraih oleh peradaban sampai saat ini, Gidden dan Capra (2000) masih memiliki pandangan yang tidak jauh berbeda. Gidden menganggap Sosialisme dan Kapiltalisme dalam kemasan neo-liberal telah membawa ketimpangan kehidupan umat manusia. Sementara Capra (2000) menganggap kerakusan manusia dalam menata kehidupan (tentu yang dimaksud adalah sistem sosialisme dan kapitalisme neo-liberal) telah membawa ketimpangan tidak sekedar pada hubungan antar manusia, tetapi lebih dari itu, semua unsur yang menempati bumi tidak mendapatkan keadilan. Ketimpangan lebih bersifat sangat luas, semua makhluk.
Pada tataran solusi, antara Gidden dan Capra (2000) memiliki pandangan yang berbeda. Gidden menawarkan “jalan ketiga” yang lebih merupakan “perbaikan” (reformasi) dari perjalanan sosialisme dan kapitalisme. Sementara Capra (2000) memandang solusi permasalahan peradaban harus mendasar dalam cara pandang yang tidak menjadikan manusia sebagai pusat pembahasan, melainkan semua unsur memiliki kepentingan dan kebutuhan yang sama dalam interaksi yang harmonis (ekosentrisme). Pada titik inilah jurang perbedaan antara Gidden dan Capra (2000) sangat kentara, Gidden dengan “jalan ketiga” lebih mencirikan etika antroposentris yang sarat dengan pendekatan mekanis, sementara Capra (2000) dengan “Deep Ecology” lebih mengutamanakan etika ekosentrisme.
Dengan demikian solusi permasalahan lingkungan yang dihadapi oleh penduduk bumi saat ini, tidak bisa hanya dibebankan pada golongan atau level tertentu. Semua harus turun tangan dengan sumbangsih semampunya.

Rujukan

Capra, Fritjof. 2000 Titik Balik Peradaban; Sains, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan.Yayasan Bentang Budaya. Jogjakarta
Giddens, Anthony.1999. Jalan Ketiga; Pembaruan Demokrasi Sosial. Gramedia Pustaka Utama.

Ekologi Politik Indonesia pasca Revolusi Hijau

Oleh Husain Assa'di

Sekilas tentang Revolusi Hijau

Menurut Burton (1990) Perjalanan teknologi Revolusi Hijau diketahui ketika mulai disem¬purnakan oleh Norman Berlaugh, yaitu sejak Yayasan Rockefeller per¬tama kali mengirimnya ke Meksiko tahun 1944. Di sana ia berhasil meningkatkan hasil pertanian. Sejak itu ia dijuluki Bapak Revolusi Hijau. Tapi sebenarnya yang dianggap berjasa dan berhak menerima peng¬hargaan The World Food Prize yang pertama adalah Dr.M.S. Swaminat¬han seorang ilmuwan pertanian Internasional yang menjadi ar¬sitek Revolusi Hijau di India. Penerima kedua adalah Dr. Robert F. Chan¬dler, Jr., yang mendirikan International Rice Reseach Institute (IRRI) di Filipina. Dibawah bimbingannya, IRRI mengembangkan 27 varietas padi baru yang ditanam di hampir 50 juta hektar di Asia saat itu. Vari¬etas baru tersebut meningkatkan produksi padi sebesar 66%. Keberha¬silan ini telah mendorong terbentuknya 12 Pusat Riset Pertanian lainnya.
Hubungan antara manusia dengan alam tidak selalu bersifat mutualisme. Ekploitasi sumberdaya alam secara besar-besaran telah terbukti menghancurkan alam sekaligus berdampak buruk setelahnya atas manusia. Pada sektor pertanian, Revolusi Hijau yang dijalankan ternyata membawa dampak kerusakan ekologi yang tidak sedikit.
Alam pertanian secara nyata dan tepat telah berubah dengan hadirnya Revolusi Hijau. Di negara-negara berkembang termasuk Indonesia yang dahulu ter¬gantung kepada bantuan pangan negara lain, secara dinamis relatif lebih baik. Tetapi Revolusi Hijau yang telah berhasil mengurangi kelaparan di Dunia Ketiga, tidak dinikmati oleh semua orang pada semua tempat. Dan semakin lama diketahui, teknologi Revolusi Hijau banyak me-nimbulkan dampak negatif seperti meluasnya hama tanaman, keru¬sakan tanah, hilangnya beberapa varietas padi lokal, dan menurunnya pendapatan petani.
Suksesnya teknologi Revolusi Hijau mulai dipertanyakan se¬telah muncul adanya kerusakan lingkungan pertanian, dan tidak beru¬bahnya kesejahteraan petani meski hasil panen meningkat pesat. Studi¬-studi tandingan mulai muncul untuk mencari korelasi antara kenaikan produksi pangan dengan peningkatan pendapatan petani kecil. Studi¬-studi dibalik sukses Revolusi Hijau terhadap negara sedang berkembang yang masuk dalam era swasembada pangan, selalu dibebani oleh pertanyaan kritis akibat dibalik kesuksesan Revolusi (Burton, 1990).
Dampak Revolusi Hijau
Menurut Tata (2000), studi mengenai dampak revolusi hijau dilakukan di beberapa negara Asia, terma¬suk Indonesia, dengan hasil yang relatif sama. Petani yang mendapat manfaat dari hadirnya Revolusi Hijau umumnya hanya mereka yang berada di wilayah irigasi teratur. Tapi yang mengejutkan, kepemilikan tanah di daerah itu justru telah berubah secara bertahap, yaitu sejak saluran irigasi dibangun, yang semula milik petani keeil berubah men¬jadi milik petani menengah atau petani kaya. Dan bersamaan dengan selesainya irigasi teknis yang menjamin tersedianya air sepanjang mu¬sim tanam, petani keeil yang memiliki tanah tinggal sedikit, telah beru¬bah perannya dari pemilik menjadi penggarap untuk petani kaya. Mes¬kipun masih ditemukan adanya petani kecil di daerah itu, teknologi Revolusi Hijau tetap lebih banyak diserap petani kaya. Petani di luar daerah irigasi teknis lebih jelas lagi, yaitu dengan tanah yang marjinal dan jauh letaknya, tidak terjangkau teknologi Revolusi Hijau.
Sernentara dampak negatif nyata dari Revolusi Hijau adalah keru¬sakan tanah yang disebabkan oleh penggunaan pestisida dan pupuk kimia secara berlebihan. Selama lebih dari dua dekade hadirnya Revo¬lusi Hijau, penggunaan produk kimia secara besar-besaran telah me¬nunjukkan dampak negatif dengan berkurangnya unsur hara mikro seperti zinc dan bronze. Suatu studi tentang hal itu melaporkan lenyap¬nya l6 sentimeter lapisan tanah subur dan hilangnya kemampuan ta¬nah menyerap air, dibandingkan perlakuan tanah secara organik.
Pada sektor ketenagakerjaan, dalam hal ini pembagian kerja gender, terjadi perubahan pola bertani, dimana tenaga kerja wanita menjadi termarginalkan karena tahap pemanenan yang dulu dikerjakan oleh perempuan dengan ketam, kini digantikan oleh laki-laki dengan sabit. Ternyata, ketinggian tanaman yang rendah menyebabkan perempuan menjadi tidak punya lapangan kerja pada sektor ini.
Di Indonesia sejak teknologi Revolusi Hijau diterima sebagai bagian yang tak terpisahkan dari skenario pembangunan di Indonesia, khususnya sejak Orde Baru, sebenamya petani-petani Indonesia sedang masuk dalam krisis-krisis yang mengkhawatirkan. Negara-negara yang sedang me¬nerapkan teknologi Revolusi Hijau lebih awal dari Indonesia, mulai dikritik karena ternyata tidak membawa berkah untuk kehidupan jang¬ka panjang. Ia telah melahirkan krisis-krisis yang tidak terduga sebe-lumnya. Krisis-krisis itu agaknya diabaikan dalam pembangunan per¬tanian di Indonesia. Sebagai contoh, pemerintah tidak selektif di dalam memilih pestisida yang sebenamya sudah dilarang di negara asal pem¬buatnya. Lima sampai sepuluh tahun kemudian jenis-jenis pestisida itu baru dilarang, ketika dampak negatif telah melampaui titik kritis terhadap lingkungan pertanian. Tidak ada upaya penyelamatan terha¬dap kekayaan jenis padi lokal Indonesia, dengan menetapkan daerah¬daerah tertentu agar dilindungi sebagai "Bank benih lokal alamiah". Satu-satunya upaya perlindungan terhadap benih padi lokal adalah di dataran tinggi, yang bukan daerah kantong produksi beras. Sehingga sedikitnya ada 3 krisis yang tengah menimpa negara-negara yang melaksanakan revolusi hijau, yaitu:
Krisis pertama adalah terjadinya degradasi lingkungan pertanian, dan berkurangnya pendapatan serta menurunnya kualitas hidup teru¬tama yang dialami olehpetani kecil. Krisis ini pada akhimya menim¬bulkan krisis baru, yaitu karena turut ambil bagian didalam memper¬buruk lingkungan di kota dalam bentuk menjamurnya kampung¬-kampung kumuh di kota-kota besar, tempat para petani yang terserabut dari sektor pertanian dan berusaha mengadu untung di kota.
Kedua, teknologi Revolusi Hijau yang menggunakan pestisida, pupuk kimia dan benih unggul, dengan dahsyat berhasil mempenga¬ruhi petani, terutama petani di dataran rendah yang sistem irigasinya teratur sehingga pengadaan airnya tetap sepanjang musim. Kemudah¬an itu sekaligus menimbulkan ketergantungan pada tiga komponen Re¬volusi Hijau yang mana petani dikondisikan untuk terus menanam padi.
Petani dataran rendah yang umumnya terlibat dalam program Intesifi¬kasi telah terjebak dalam ketergantungan ini. Mereka merasa tidak mungkin bertani tanpa benih unggul, pupuk kimia dan pestisida. Mereka selalu beranggapan bahwa pestisida mutlak diperlukan karena gangguan hama setiap saat mengancam tanaman mereka. Mereka tidak paham bahwa ketiga komponen itulah penyebab mereka menjadi sangat tergantung. Ketergantungan itu muncul karena benih tersebut jaminan untuk mencapai target panen tiga kali setahun, dan tanpa pu¬puk kimia agar dapat memacu benih unggul menjadi produktif, peta¬ni tidak mungkin mencapai target produksi. Sedang pestisida adalah pelindung hasil panen dari serangan serangga hama.
Ketiga, krisis-krisis tersebut menimbulkan pengaruh lanjut terha¬dap sikap, pola tanam dan cara pandang petani terhadap lingkungan¬nya. Sikap utama yang muncul dari petani adalah ketergantungan pada teknologi Revolusi Hijau tersebut. Pola tanam juga berubah dari poli¬kultur menjadi monokultur. Cara pandang petani terhadap alam dan lingkungannya telah bergeser dari konsep kesatuan manusia dengan alam, menjadi alam yang terpisah dari manusia. Cara pandang itu juga mengubah sistem belajar yang semula bersifat emperisme dengan be¬lajar dari kearifan alam pertanian, menjadi cara pandang sekuler, yang hanya mengandalkan kemampuan teknologi pertanian moderen.
Matinya ular, burung, serangga berguna lainnya akibat pestisida, lidak dipahami sebagai suatu perusakan lingkungan, tetapi merupa¬kan resiko logis jika petani ingin menjaga hasil produksi panennya. Ular tidak lagi dianggap sebagai predator yang dapat mengendalikan hama tikus, atau kodok untuk mengendalikan hama serangga di perna tang sawah. tetapi sebagai hewan buruan untuk memperoleh penghasilan tambahan. Predator sudah digantikan oleh pestisida. Pupuk alam su¬dah digantikan pupuk kimia yang mudah diperoleh di toko. Benih juga sudah tersedia di toko tanpa perlu menyisihkan hasil panen untuk ke¬perluan benih seperti umumnya dilakukan oleh petani tradisional.
Berubahnya cara pandang petani, dari cara pandang inherent men¬jadi sekuler telah menggiring petani kepada jalan yang buntu. Ilmu¬wan yang bergulat dengan keunggulan teknologi Revolusi Hijau juga menghadapi hal yang sama, ketika mereka terlambat mengetahui bah¬wa jangkrik dengan suara Ultrasonic-nya mampu mengusir tikus di pematang sawah. Sementara jangkrik sudah lama menghilang akibat pemakaian pestisida di daerah-daerah pertanian dataran rendah yang mengikuti program-program pertanian yang ditawarkan oleh teknologi Revolusi Hijau. Petani sekuler, yang lebih percaya kepada keungguian teknologi pertanian, juga mempercepat xerusakan lingkungan alam pertanian. Perubahan dan kerusakan ekologis pad a akhirnya menjadi bumerang bagi petani itu sendiri. Banyak hama menjadi resisten terhadap pestisida, yang akhirnya menibulkan hama biotip baru. Akibatnya, dibutuhkan pestisida baru yang lebih ampuh. Begitu seterusnya.
Pemerintah berupaya mencapai swasembada beras mulai Pelita I sampai Pelita Ill. Upaya itu telah menguras banyak tenaga dan dana. Mulai dari impor pupuk hingga pendirian pabrik pupuk. Kemudian impor pestisida sampai mendorong pihak swasta mendirikan pabrik formulator pestisida. Ind ustri benih kemudian menjadi pilihan menarik bagi swasta dan pemerintah. Seiring dengan itu, Revolusi Hijau juga ikut memacu industri lainnya seperti semen, karena pentingnya irigasi teknis yang memerlukan waduk-waduk raksasa sejenis seperti waduk Kedung Gmbo. Menurut Timmer (1988), selama Pelita I hingga Pelita Ill, insentif harga untuk gabah, pupuk dan pestisida telah memberikan saham 40% bagi kenaikan produksi beras. Sedangkan faktor-faktor lainnya secara bersama-sama menyumbang 60% bagi kenaikan produksi. Tapi bersamaan dengan itu, subsidi pestisida dan pupuk juga menguras dana pemerintah.
Keberhasilan Indonesia mirip dengan Meksiko, yaitu sejak Amerika mulai mengekspor revolusi pertanian tahun 1944. Selang 23 tahun kemudian, produksi meningkat tiga kali lipat, dan panen padi meningkat dua kali lipat. Dan apa yang terjadi di Meksiko kemudian adalah pola ketergantungan yang tinggi dari petani di sana terhadap pestisida, pupuk kimia dan benih unggul. Sekarang, sebelum masalah kesejahteraan petani terjawab, produksi beras Nasional terancam turun dari tahun ke tahun. Karena itu menarik untuk diamati menurunnya produksi beras dalam periode 1982 -1988 dalam kaitannya dengan Revolusi Hijau dan faktor eksternal yang mempengaruhi penurunan produksi. Dari berbagai dampak yang lebih banyak bersifat negatif inilah, digagas alternatif pembangunan yang lebih berkelanjutan. Sehingga lahir konsep pembangunan berkelanjutan, dimana sektor pertanian menjadi salah satu hal yang dipentingkan untuk dibahas.

Modernisasi, Aspek Ideal Revolusi Hijau
Menurut Sajogjo (1985) Modernisasi pertama kali nampak di Inggris pada abad ke-18 yang disebut dengan revolusi industri. Untuk negara-negara Asia sekalipun, istilah modernisasi paling tidak sudah dikenal sejak industrialisasi Jepang pada abad 20. Aspek yang paling menonjol dari modernisasi adalah pergantian teknik produksi dari cara-cara tradisional ke cara-cara modem. Revolusi industri merupakan salah satu bagian atau satu aspek saja dari sebuah proses yang lebih luas. Modernisasi ialah proses transformasi suatu perubahan masyarakat dalam segala aspeknya, baik dibidang ekonomi, politik, sosial budaya, dan sistem kepercayaan.
Konsep ekonomi ala modemisasi menempatkan pertumbuhan ekonomi sebagai ukuran keberhasilan. Produksi massal digelar untuk memenuhi angka-angka yang ditargetkan. Pengembangan pada bidang ini juga erat kaitannya dengan pengembangan ilmu pengetahuan, penemuan-penemuan bam dalam berbagai bidang turut memacu peningkatan sektor ini. GNP menjadi ukuran pertumbuhan ekonomi suatu negara dengan komponen Income (I), Consumption (C), padahal telah terbukti bahwa peningkatan konsumsi masyarakat juga akan meningkatkan tingkat polusi.
Selaras dengan pandangan tersebut, 5 tahapan pembagunan sebagai turunan teori modernisasi, menempatkan masyarakat dengan konsumsi tinggi (high mass consumtion sebagai 'akhir' dari perkembangan peradaban. Kelima tahap Rostow tersebut adalah:
1. Masyarakat Tradisional
2. Prakondisional untuk tinggal landas
3. Tinggal Landas (Take Off)
4. Menuju Kematangan
5. Jaman Konsumsi massal yang tinggi
Ini menunjukkan bahwa pelaksanaan modernisasi akan berdampak pada meningkatnya konsumsi dan berakibat meningkatnya polutan yang secara otomatis akan berdampak ekologis.
Kebijakan-kebijakan dalam bidang politik untuk pelaksanaan modemisasi, kebijakan Repelita yang dicanangkan pemerintah Indonesia kental dengan pelaksanaan modemisasi. Tahapan-tahapan yang dilakukan per 25 tahun dengan sub rencana 5 tahun (Pelita) adalah bukti bahwa kebijakan pembangunan sangat kental dengan mazhab pertumbuhan ekonomi ala modemisasi. Yang kemudian berakhir dengan era tinggal landas dengan lengsemya Suharto. Ini menunjukkan bahwa bidang ekonomi ditopang dengan kebijakan politik.
Peningkatan produksi secara cepat dan massal merupakan rub dari modernisasi. Kebijakan yang kemudian dikenal dengan revolusi hijau merupakan salah satu turunan dari target tercapainya angka-angka ekonomi dalam bidang pertanian. Dalam pelaksanaannya, revolusi hijau telah merubah pola pertanian dari 'tradisional' menjadi 'modem'. Teknik pemanenan padi dengan ketam berganti dengan sabit. Penanaman tanaman begitu akrab dengan pestisida. Target peningkatan hasil produksi per area lahan menjadi ukuran keberhasilan.
Pada kenyataannya, keberhasilan peningkatan hasil produksi pertanian secara besar-besaran juga menyisakan duka perubahan sistem sosial dan juga ekologis. Tanah tereksploitas secara besar-besaran sehingga tidak lagi dapat memberikan hara secara berkelanjutan. Resistensi hama terhadap pestisida juga berkaibat buruk pada lingkungan. Kelestarian plasma nutfah sebagai akibat penyeragamaman jenis tanaman tertentu juga menjadi akibat yang serius.

Pembangunan Berkelanjutan; sebuah jawaban aksi atas Revolusi Hijau?
Konsep Pembangunan Berkelanjutan muncul dari pemikiran ramah lingkungan, dimana selama ini manusia cenderung eksploitatif dan tidak menempatkan alam sebagai sahabat (Antroposentisme). Bentuk-bentuk aksi dilapang berupa pertanian organik, PHT, hingga aksi kembali pada pola-pola pertanian lama, seperti penggunaan bibit lokal. Secara lebih lenngkap konsep ekologisme memerlukan cara pandang holistik, tidak mekanis reduksionis ala cartesian. Perubahan cara pandang mendasar tentang hubungan manusia menjadi syarat ide ini terealisir secara baik.

Menurut Capra (2000) “Salah satu alasan mengapa kini kita tidak hidup secara berkelanjutan adalah karena masyarakat industri didominasi oleh pandangan mekanistis tentang dunia, yang menyebabkan kita memperlakukan lingkungan alam seakan terdiri dari bagian-bagian yang terpisah, untuk dieksploitasi oleh kelompok-kelompok kepentingan yang berbeda” Bahkan Capra (2000), cara berpikir yang mekanistis ini telah membuat kita tercerabut dari alam dan dari sesama manusia yang lain. Stephen Sterling dalam Engel (1990) juga menuliskan hal yang sama “Kita dengan setia mewujudkan keyakinan Descartes bahwa manusia harus menjadi tuan dan penguasa alam". Dari kesadaran inilah akan muncul semangat dan perilaku yang akan membentuk masyarakat yang ramah kepada lingkungan. Tapi mungkinkah terjadi dalam arus Globalisasi yang makin membuat dunia kita tak terkendali seperti yang dikatakan oleh Anthony Giddens (1999). Menurutnya, Pembangunan berkelanjutan merupakan alternatif untuk meminimalisir resiko-resiko di masa mendatang. Walau sampai sekarang, menurut Gidden ide ini belum mempunyai pijakan berfikir yang utuh.
Bagi masyarakat Indonesia yang terpenting adalah kesadaran untuk mengambil pelajaraan dari perjalanan Revolusi Hijau. Walaupun kemudian, hal ini menjadi tidak sederhana karena terkait dengan kebijakan pemerintah dan kekuatan kapitalisme liberal yang makin mendominasi. Gidden (1999) dan Capra (2000) memiliki pandangan yang tidak jauh berbeda. Gidden (1999) menganggap Sosialisme dan Kapiltalisme dalam kemasan noe liberal telah membawa ketimpangan kehidupan umat manusia. Sementara Capra (2000) menganggap kerakusan manusia dalam menata kehidupan (tentu yang dimaksud adalah sistem sosialisme dan kapitalisme) telah membawa ketimpangan tidak sekedar pada hubungan antar manusia, tetapi lebih dari itu, semua unsur yang menempati bumi tidak mendapatkan keadilan. Ketimpangan lebih bersifat sangat luas, semua makhluk. Sementara Marten (2001) mengatakan, jika manusia akan bertahan hidup jika ia tidak merusak ekosistem. Sedangkan Dobson (1995) mengungkapkan bahwa Bumi tidak hanya diproteksi dari keserakahan manusia pada pengaturan sosial ekonomi, seperti pembatasan produksi, tetapi bumi mempunyai kemampuan fisik yang terbatas. Dalam konateks Indoensia, Billa (2005) dan Keraf (2002) memnerikan saran untuk kembali saja pada model sistem pengelolaan tradisional yang penuh dengan kearifan. Permasalahan ekologi memang tidak bisa diselesaikan, kecuali dengan cara yang holistik. Semua komponen memiliki andil untuk mewujudkan kondisi yang baik. Sebuah kondisi yang penuh dengan keadilan menuju kesejahteraan. dan pada akhirnya, Globalisme Kapitalis menjadi sandungan luar biasa bagi terciptanya ketentraman lingkungan.

Daftar Pustaka

Bell, Michael Mayerfeld. 1998. Invitation to environmental sociology. Pine Forge Press. USA
Billa, Marthin.2005. Alam Lestari dan Kearifan Budaya Dayak Kenyah. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta
Capra, Fritjof. 2000 Titik Balik Peradaban; Sains, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan.Yayasan Bentang Budaya. Jogjakarta
Dobson, A. 1990. Green Political Thought. 2nd edition. Routledge. London and New Yok
Engel, J. Ronald dan Engel, Joan Gibb (ed). 1990. Ethics of Environment and Development: Global Change, International response. The University of Arizona Press. USA
Giddens, Anthony.1999. Jalan Ketiga; Pembaruan Demokrasi Sosial. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Johnson dan Wilson. 1999. Institutional Sustainability as Learning Development in Practice. Vol.9 No 1-2
Keraf, A Sonny.2002. Etika Lingkungan Cet. 1. Penerbit Buku Kompas. Jakarta
Marten, Gerald G. 2001. Human Ecology: basic concepts for sustainable development. Earthscan Publication Ltd. UK and USA
Ornate, Burton. 1987. Why the Green Revolution has failed the small farmers, SIBOL. Philipines
Tata, Indra. 2000. Menggugat Revolusi Hijau, Generasi Pertama. Edisi pertama. Yayasan Karangsari bekerjasama dengan PAN Indonesia dan Yayasan Kehati.