Thursday, April 10, 2008

Jalan ketiga; selaraskah dengan ekologisme?

Baik Giddens (1999) dan Capra (2000) memiliki kesamaan dalam menyajikan solusi mendasar atas problema kemanusiaan dalam konteks kekinian. Keduanya memiliki ide yang untuk mendatasi persoalan-persoalan lingkungan dan peradaban. Gidden menawarkan apa yang disebut sebagai “jalan ketiga” sementara Capra (2000) sangat concern dengan “Ekologisme”. Keduanya adalah alternatif “baru” untuk peradaban yang lebih baik, semangat untuk memperbaiki perdaban manusia yang telah terbukti gagal
Pada pembahasan sebab kegagalan yang diraih oleh peradaban sampai saat ini, Gidden dan Capra (2000) masih memiliki pandangan yang tidak jauh berbeda. Gidden menganggap Sosialisme dan Kapiltalisme dalam kemasan neo-liberal telah membawa ketimpangan kehidupan umat manusia. Sementara Capra (2000) menganggap kerakusan manusia dalam menata kehidupan (tentu yang dimaksud adalah sistem sosialisme dan kapitalisme neo-liberal) telah membawa ketimpangan tidak sekedar pada hubungan antar manusia, tetapi lebih dari itu, semua unsur yang menempati bumi tidak mendapatkan keadilan. Ketimpangan lebih bersifat sangat luas, semua makhluk.
Pada tataran solusi, antara Gidden dan Capra (2000) memiliki pandangan yang berbeda. Gidden menawarkan “jalan ketiga” yang lebih merupakan “perbaikan” (reformasi) dari perjalanan sosialisme dan kapitalisme. Sementara Capra (2000) memandang solusi permasalahan peradaban harus mendasar dalam cara pandang yang tidak menjadikan manusia sebagai pusat pembahasan, melainkan semua unsur memiliki kepentingan dan kebutuhan yang sama dalam interaksi yang harmonis (ekosentrisme). Pada titik inilah jurang perbedaan antara Gidden dan Capra (2000) sangat kentara, Gidden dengan “jalan ketiga” lebih mencirikan etika antroposentris yang sarat dengan pendekatan mekanis, sementara Capra (2000) dengan “Deep Ecology” lebih mengutamanakan etika ekosentrisme.
Dengan demikian solusi permasalahan lingkungan yang dihadapi oleh penduduk bumi saat ini, tidak bisa hanya dibebankan pada golongan atau level tertentu. Semua harus turun tangan dengan sumbangsih semampunya.

Rujukan

Capra, Fritjof. 2000 Titik Balik Peradaban; Sains, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan.Yayasan Bentang Budaya. Jogjakarta
Giddens, Anthony.1999. Jalan Ketiga; Pembaruan Demokrasi Sosial. Gramedia Pustaka Utama.

Ekologi Politik Indonesia pasca Revolusi Hijau

Oleh Husain Assa'di

Sekilas tentang Revolusi Hijau

Menurut Burton (1990) Perjalanan teknologi Revolusi Hijau diketahui ketika mulai disem¬purnakan oleh Norman Berlaugh, yaitu sejak Yayasan Rockefeller per¬tama kali mengirimnya ke Meksiko tahun 1944. Di sana ia berhasil meningkatkan hasil pertanian. Sejak itu ia dijuluki Bapak Revolusi Hijau. Tapi sebenarnya yang dianggap berjasa dan berhak menerima peng¬hargaan The World Food Prize yang pertama adalah Dr.M.S. Swaminat¬han seorang ilmuwan pertanian Internasional yang menjadi ar¬sitek Revolusi Hijau di India. Penerima kedua adalah Dr. Robert F. Chan¬dler, Jr., yang mendirikan International Rice Reseach Institute (IRRI) di Filipina. Dibawah bimbingannya, IRRI mengembangkan 27 varietas padi baru yang ditanam di hampir 50 juta hektar di Asia saat itu. Vari¬etas baru tersebut meningkatkan produksi padi sebesar 66%. Keberha¬silan ini telah mendorong terbentuknya 12 Pusat Riset Pertanian lainnya.
Hubungan antara manusia dengan alam tidak selalu bersifat mutualisme. Ekploitasi sumberdaya alam secara besar-besaran telah terbukti menghancurkan alam sekaligus berdampak buruk setelahnya atas manusia. Pada sektor pertanian, Revolusi Hijau yang dijalankan ternyata membawa dampak kerusakan ekologi yang tidak sedikit.
Alam pertanian secara nyata dan tepat telah berubah dengan hadirnya Revolusi Hijau. Di negara-negara berkembang termasuk Indonesia yang dahulu ter¬gantung kepada bantuan pangan negara lain, secara dinamis relatif lebih baik. Tetapi Revolusi Hijau yang telah berhasil mengurangi kelaparan di Dunia Ketiga, tidak dinikmati oleh semua orang pada semua tempat. Dan semakin lama diketahui, teknologi Revolusi Hijau banyak me-nimbulkan dampak negatif seperti meluasnya hama tanaman, keru¬sakan tanah, hilangnya beberapa varietas padi lokal, dan menurunnya pendapatan petani.
Suksesnya teknologi Revolusi Hijau mulai dipertanyakan se¬telah muncul adanya kerusakan lingkungan pertanian, dan tidak beru¬bahnya kesejahteraan petani meski hasil panen meningkat pesat. Studi¬-studi tandingan mulai muncul untuk mencari korelasi antara kenaikan produksi pangan dengan peningkatan pendapatan petani kecil. Studi¬-studi dibalik sukses Revolusi Hijau terhadap negara sedang berkembang yang masuk dalam era swasembada pangan, selalu dibebani oleh pertanyaan kritis akibat dibalik kesuksesan Revolusi (Burton, 1990).
Dampak Revolusi Hijau
Menurut Tata (2000), studi mengenai dampak revolusi hijau dilakukan di beberapa negara Asia, terma¬suk Indonesia, dengan hasil yang relatif sama. Petani yang mendapat manfaat dari hadirnya Revolusi Hijau umumnya hanya mereka yang berada di wilayah irigasi teratur. Tapi yang mengejutkan, kepemilikan tanah di daerah itu justru telah berubah secara bertahap, yaitu sejak saluran irigasi dibangun, yang semula milik petani keeil berubah men¬jadi milik petani menengah atau petani kaya. Dan bersamaan dengan selesainya irigasi teknis yang menjamin tersedianya air sepanjang mu¬sim tanam, petani keeil yang memiliki tanah tinggal sedikit, telah beru¬bah perannya dari pemilik menjadi penggarap untuk petani kaya. Mes¬kipun masih ditemukan adanya petani kecil di daerah itu, teknologi Revolusi Hijau tetap lebih banyak diserap petani kaya. Petani di luar daerah irigasi teknis lebih jelas lagi, yaitu dengan tanah yang marjinal dan jauh letaknya, tidak terjangkau teknologi Revolusi Hijau.
Sernentara dampak negatif nyata dari Revolusi Hijau adalah keru¬sakan tanah yang disebabkan oleh penggunaan pestisida dan pupuk kimia secara berlebihan. Selama lebih dari dua dekade hadirnya Revo¬lusi Hijau, penggunaan produk kimia secara besar-besaran telah me¬nunjukkan dampak negatif dengan berkurangnya unsur hara mikro seperti zinc dan bronze. Suatu studi tentang hal itu melaporkan lenyap¬nya l6 sentimeter lapisan tanah subur dan hilangnya kemampuan ta¬nah menyerap air, dibandingkan perlakuan tanah secara organik.
Pada sektor ketenagakerjaan, dalam hal ini pembagian kerja gender, terjadi perubahan pola bertani, dimana tenaga kerja wanita menjadi termarginalkan karena tahap pemanenan yang dulu dikerjakan oleh perempuan dengan ketam, kini digantikan oleh laki-laki dengan sabit. Ternyata, ketinggian tanaman yang rendah menyebabkan perempuan menjadi tidak punya lapangan kerja pada sektor ini.
Di Indonesia sejak teknologi Revolusi Hijau diterima sebagai bagian yang tak terpisahkan dari skenario pembangunan di Indonesia, khususnya sejak Orde Baru, sebenamya petani-petani Indonesia sedang masuk dalam krisis-krisis yang mengkhawatirkan. Negara-negara yang sedang me¬nerapkan teknologi Revolusi Hijau lebih awal dari Indonesia, mulai dikritik karena ternyata tidak membawa berkah untuk kehidupan jang¬ka panjang. Ia telah melahirkan krisis-krisis yang tidak terduga sebe-lumnya. Krisis-krisis itu agaknya diabaikan dalam pembangunan per¬tanian di Indonesia. Sebagai contoh, pemerintah tidak selektif di dalam memilih pestisida yang sebenamya sudah dilarang di negara asal pem¬buatnya. Lima sampai sepuluh tahun kemudian jenis-jenis pestisida itu baru dilarang, ketika dampak negatif telah melampaui titik kritis terhadap lingkungan pertanian. Tidak ada upaya penyelamatan terha¬dap kekayaan jenis padi lokal Indonesia, dengan menetapkan daerah¬daerah tertentu agar dilindungi sebagai "Bank benih lokal alamiah". Satu-satunya upaya perlindungan terhadap benih padi lokal adalah di dataran tinggi, yang bukan daerah kantong produksi beras. Sehingga sedikitnya ada 3 krisis yang tengah menimpa negara-negara yang melaksanakan revolusi hijau, yaitu:
Krisis pertama adalah terjadinya degradasi lingkungan pertanian, dan berkurangnya pendapatan serta menurunnya kualitas hidup teru¬tama yang dialami olehpetani kecil. Krisis ini pada akhimya menim¬bulkan krisis baru, yaitu karena turut ambil bagian didalam memper¬buruk lingkungan di kota dalam bentuk menjamurnya kampung¬-kampung kumuh di kota-kota besar, tempat para petani yang terserabut dari sektor pertanian dan berusaha mengadu untung di kota.
Kedua, teknologi Revolusi Hijau yang menggunakan pestisida, pupuk kimia dan benih unggul, dengan dahsyat berhasil mempenga¬ruhi petani, terutama petani di dataran rendah yang sistem irigasinya teratur sehingga pengadaan airnya tetap sepanjang musim. Kemudah¬an itu sekaligus menimbulkan ketergantungan pada tiga komponen Re¬volusi Hijau yang mana petani dikondisikan untuk terus menanam padi.
Petani dataran rendah yang umumnya terlibat dalam program Intesifi¬kasi telah terjebak dalam ketergantungan ini. Mereka merasa tidak mungkin bertani tanpa benih unggul, pupuk kimia dan pestisida. Mereka selalu beranggapan bahwa pestisida mutlak diperlukan karena gangguan hama setiap saat mengancam tanaman mereka. Mereka tidak paham bahwa ketiga komponen itulah penyebab mereka menjadi sangat tergantung. Ketergantungan itu muncul karena benih tersebut jaminan untuk mencapai target panen tiga kali setahun, dan tanpa pu¬puk kimia agar dapat memacu benih unggul menjadi produktif, peta¬ni tidak mungkin mencapai target produksi. Sedang pestisida adalah pelindung hasil panen dari serangan serangga hama.
Ketiga, krisis-krisis tersebut menimbulkan pengaruh lanjut terha¬dap sikap, pola tanam dan cara pandang petani terhadap lingkungan¬nya. Sikap utama yang muncul dari petani adalah ketergantungan pada teknologi Revolusi Hijau tersebut. Pola tanam juga berubah dari poli¬kultur menjadi monokultur. Cara pandang petani terhadap alam dan lingkungannya telah bergeser dari konsep kesatuan manusia dengan alam, menjadi alam yang terpisah dari manusia. Cara pandang itu juga mengubah sistem belajar yang semula bersifat emperisme dengan be¬lajar dari kearifan alam pertanian, menjadi cara pandang sekuler, yang hanya mengandalkan kemampuan teknologi pertanian moderen.
Matinya ular, burung, serangga berguna lainnya akibat pestisida, lidak dipahami sebagai suatu perusakan lingkungan, tetapi merupa¬kan resiko logis jika petani ingin menjaga hasil produksi panennya. Ular tidak lagi dianggap sebagai predator yang dapat mengendalikan hama tikus, atau kodok untuk mengendalikan hama serangga di perna tang sawah. tetapi sebagai hewan buruan untuk memperoleh penghasilan tambahan. Predator sudah digantikan oleh pestisida. Pupuk alam su¬dah digantikan pupuk kimia yang mudah diperoleh di toko. Benih juga sudah tersedia di toko tanpa perlu menyisihkan hasil panen untuk ke¬perluan benih seperti umumnya dilakukan oleh petani tradisional.
Berubahnya cara pandang petani, dari cara pandang inherent men¬jadi sekuler telah menggiring petani kepada jalan yang buntu. Ilmu¬wan yang bergulat dengan keunggulan teknologi Revolusi Hijau juga menghadapi hal yang sama, ketika mereka terlambat mengetahui bah¬wa jangkrik dengan suara Ultrasonic-nya mampu mengusir tikus di pematang sawah. Sementara jangkrik sudah lama menghilang akibat pemakaian pestisida di daerah-daerah pertanian dataran rendah yang mengikuti program-program pertanian yang ditawarkan oleh teknologi Revolusi Hijau. Petani sekuler, yang lebih percaya kepada keungguian teknologi pertanian, juga mempercepat xerusakan lingkungan alam pertanian. Perubahan dan kerusakan ekologis pad a akhirnya menjadi bumerang bagi petani itu sendiri. Banyak hama menjadi resisten terhadap pestisida, yang akhirnya menibulkan hama biotip baru. Akibatnya, dibutuhkan pestisida baru yang lebih ampuh. Begitu seterusnya.
Pemerintah berupaya mencapai swasembada beras mulai Pelita I sampai Pelita Ill. Upaya itu telah menguras banyak tenaga dan dana. Mulai dari impor pupuk hingga pendirian pabrik pupuk. Kemudian impor pestisida sampai mendorong pihak swasta mendirikan pabrik formulator pestisida. Ind ustri benih kemudian menjadi pilihan menarik bagi swasta dan pemerintah. Seiring dengan itu, Revolusi Hijau juga ikut memacu industri lainnya seperti semen, karena pentingnya irigasi teknis yang memerlukan waduk-waduk raksasa sejenis seperti waduk Kedung Gmbo. Menurut Timmer (1988), selama Pelita I hingga Pelita Ill, insentif harga untuk gabah, pupuk dan pestisida telah memberikan saham 40% bagi kenaikan produksi beras. Sedangkan faktor-faktor lainnya secara bersama-sama menyumbang 60% bagi kenaikan produksi. Tapi bersamaan dengan itu, subsidi pestisida dan pupuk juga menguras dana pemerintah.
Keberhasilan Indonesia mirip dengan Meksiko, yaitu sejak Amerika mulai mengekspor revolusi pertanian tahun 1944. Selang 23 tahun kemudian, produksi meningkat tiga kali lipat, dan panen padi meningkat dua kali lipat. Dan apa yang terjadi di Meksiko kemudian adalah pola ketergantungan yang tinggi dari petani di sana terhadap pestisida, pupuk kimia dan benih unggul. Sekarang, sebelum masalah kesejahteraan petani terjawab, produksi beras Nasional terancam turun dari tahun ke tahun. Karena itu menarik untuk diamati menurunnya produksi beras dalam periode 1982 -1988 dalam kaitannya dengan Revolusi Hijau dan faktor eksternal yang mempengaruhi penurunan produksi. Dari berbagai dampak yang lebih banyak bersifat negatif inilah, digagas alternatif pembangunan yang lebih berkelanjutan. Sehingga lahir konsep pembangunan berkelanjutan, dimana sektor pertanian menjadi salah satu hal yang dipentingkan untuk dibahas.

Modernisasi, Aspek Ideal Revolusi Hijau
Menurut Sajogjo (1985) Modernisasi pertama kali nampak di Inggris pada abad ke-18 yang disebut dengan revolusi industri. Untuk negara-negara Asia sekalipun, istilah modernisasi paling tidak sudah dikenal sejak industrialisasi Jepang pada abad 20. Aspek yang paling menonjol dari modernisasi adalah pergantian teknik produksi dari cara-cara tradisional ke cara-cara modem. Revolusi industri merupakan salah satu bagian atau satu aspek saja dari sebuah proses yang lebih luas. Modernisasi ialah proses transformasi suatu perubahan masyarakat dalam segala aspeknya, baik dibidang ekonomi, politik, sosial budaya, dan sistem kepercayaan.
Konsep ekonomi ala modemisasi menempatkan pertumbuhan ekonomi sebagai ukuran keberhasilan. Produksi massal digelar untuk memenuhi angka-angka yang ditargetkan. Pengembangan pada bidang ini juga erat kaitannya dengan pengembangan ilmu pengetahuan, penemuan-penemuan bam dalam berbagai bidang turut memacu peningkatan sektor ini. GNP menjadi ukuran pertumbuhan ekonomi suatu negara dengan komponen Income (I), Consumption (C), padahal telah terbukti bahwa peningkatan konsumsi masyarakat juga akan meningkatkan tingkat polusi.
Selaras dengan pandangan tersebut, 5 tahapan pembagunan sebagai turunan teori modernisasi, menempatkan masyarakat dengan konsumsi tinggi (high mass consumtion sebagai 'akhir' dari perkembangan peradaban. Kelima tahap Rostow tersebut adalah:
1. Masyarakat Tradisional
2. Prakondisional untuk tinggal landas
3. Tinggal Landas (Take Off)
4. Menuju Kematangan
5. Jaman Konsumsi massal yang tinggi
Ini menunjukkan bahwa pelaksanaan modernisasi akan berdampak pada meningkatnya konsumsi dan berakibat meningkatnya polutan yang secara otomatis akan berdampak ekologis.
Kebijakan-kebijakan dalam bidang politik untuk pelaksanaan modemisasi, kebijakan Repelita yang dicanangkan pemerintah Indonesia kental dengan pelaksanaan modemisasi. Tahapan-tahapan yang dilakukan per 25 tahun dengan sub rencana 5 tahun (Pelita) adalah bukti bahwa kebijakan pembangunan sangat kental dengan mazhab pertumbuhan ekonomi ala modemisasi. Yang kemudian berakhir dengan era tinggal landas dengan lengsemya Suharto. Ini menunjukkan bahwa bidang ekonomi ditopang dengan kebijakan politik.
Peningkatan produksi secara cepat dan massal merupakan rub dari modernisasi. Kebijakan yang kemudian dikenal dengan revolusi hijau merupakan salah satu turunan dari target tercapainya angka-angka ekonomi dalam bidang pertanian. Dalam pelaksanaannya, revolusi hijau telah merubah pola pertanian dari 'tradisional' menjadi 'modem'. Teknik pemanenan padi dengan ketam berganti dengan sabit. Penanaman tanaman begitu akrab dengan pestisida. Target peningkatan hasil produksi per area lahan menjadi ukuran keberhasilan.
Pada kenyataannya, keberhasilan peningkatan hasil produksi pertanian secara besar-besaran juga menyisakan duka perubahan sistem sosial dan juga ekologis. Tanah tereksploitas secara besar-besaran sehingga tidak lagi dapat memberikan hara secara berkelanjutan. Resistensi hama terhadap pestisida juga berkaibat buruk pada lingkungan. Kelestarian plasma nutfah sebagai akibat penyeragamaman jenis tanaman tertentu juga menjadi akibat yang serius.

Pembangunan Berkelanjutan; sebuah jawaban aksi atas Revolusi Hijau?
Konsep Pembangunan Berkelanjutan muncul dari pemikiran ramah lingkungan, dimana selama ini manusia cenderung eksploitatif dan tidak menempatkan alam sebagai sahabat (Antroposentisme). Bentuk-bentuk aksi dilapang berupa pertanian organik, PHT, hingga aksi kembali pada pola-pola pertanian lama, seperti penggunaan bibit lokal. Secara lebih lenngkap konsep ekologisme memerlukan cara pandang holistik, tidak mekanis reduksionis ala cartesian. Perubahan cara pandang mendasar tentang hubungan manusia menjadi syarat ide ini terealisir secara baik.

Menurut Capra (2000) “Salah satu alasan mengapa kini kita tidak hidup secara berkelanjutan adalah karena masyarakat industri didominasi oleh pandangan mekanistis tentang dunia, yang menyebabkan kita memperlakukan lingkungan alam seakan terdiri dari bagian-bagian yang terpisah, untuk dieksploitasi oleh kelompok-kelompok kepentingan yang berbeda” Bahkan Capra (2000), cara berpikir yang mekanistis ini telah membuat kita tercerabut dari alam dan dari sesama manusia yang lain. Stephen Sterling dalam Engel (1990) juga menuliskan hal yang sama “Kita dengan setia mewujudkan keyakinan Descartes bahwa manusia harus menjadi tuan dan penguasa alam". Dari kesadaran inilah akan muncul semangat dan perilaku yang akan membentuk masyarakat yang ramah kepada lingkungan. Tapi mungkinkah terjadi dalam arus Globalisasi yang makin membuat dunia kita tak terkendali seperti yang dikatakan oleh Anthony Giddens (1999). Menurutnya, Pembangunan berkelanjutan merupakan alternatif untuk meminimalisir resiko-resiko di masa mendatang. Walau sampai sekarang, menurut Gidden ide ini belum mempunyai pijakan berfikir yang utuh.
Bagi masyarakat Indonesia yang terpenting adalah kesadaran untuk mengambil pelajaraan dari perjalanan Revolusi Hijau. Walaupun kemudian, hal ini menjadi tidak sederhana karena terkait dengan kebijakan pemerintah dan kekuatan kapitalisme liberal yang makin mendominasi. Gidden (1999) dan Capra (2000) memiliki pandangan yang tidak jauh berbeda. Gidden (1999) menganggap Sosialisme dan Kapiltalisme dalam kemasan noe liberal telah membawa ketimpangan kehidupan umat manusia. Sementara Capra (2000) menganggap kerakusan manusia dalam menata kehidupan (tentu yang dimaksud adalah sistem sosialisme dan kapitalisme) telah membawa ketimpangan tidak sekedar pada hubungan antar manusia, tetapi lebih dari itu, semua unsur yang menempati bumi tidak mendapatkan keadilan. Ketimpangan lebih bersifat sangat luas, semua makhluk. Sementara Marten (2001) mengatakan, jika manusia akan bertahan hidup jika ia tidak merusak ekosistem. Sedangkan Dobson (1995) mengungkapkan bahwa Bumi tidak hanya diproteksi dari keserakahan manusia pada pengaturan sosial ekonomi, seperti pembatasan produksi, tetapi bumi mempunyai kemampuan fisik yang terbatas. Dalam konateks Indoensia, Billa (2005) dan Keraf (2002) memnerikan saran untuk kembali saja pada model sistem pengelolaan tradisional yang penuh dengan kearifan. Permasalahan ekologi memang tidak bisa diselesaikan, kecuali dengan cara yang holistik. Semua komponen memiliki andil untuk mewujudkan kondisi yang baik. Sebuah kondisi yang penuh dengan keadilan menuju kesejahteraan. dan pada akhirnya, Globalisme Kapitalis menjadi sandungan luar biasa bagi terciptanya ketentraman lingkungan.

Daftar Pustaka

Bell, Michael Mayerfeld. 1998. Invitation to environmental sociology. Pine Forge Press. USA
Billa, Marthin.2005. Alam Lestari dan Kearifan Budaya Dayak Kenyah. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta
Capra, Fritjof. 2000 Titik Balik Peradaban; Sains, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan.Yayasan Bentang Budaya. Jogjakarta
Dobson, A. 1990. Green Political Thought. 2nd edition. Routledge. London and New Yok
Engel, J. Ronald dan Engel, Joan Gibb (ed). 1990. Ethics of Environment and Development: Global Change, International response. The University of Arizona Press. USA
Giddens, Anthony.1999. Jalan Ketiga; Pembaruan Demokrasi Sosial. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Johnson dan Wilson. 1999. Institutional Sustainability as Learning Development in Practice. Vol.9 No 1-2
Keraf, A Sonny.2002. Etika Lingkungan Cet. 1. Penerbit Buku Kompas. Jakarta
Marten, Gerald G. 2001. Human Ecology: basic concepts for sustainable development. Earthscan Publication Ltd. UK and USA
Ornate, Burton. 1987. Why the Green Revolution has failed the small farmers, SIBOL. Philipines
Tata, Indra. 2000. Menggugat Revolusi Hijau, Generasi Pertama. Edisi pertama. Yayasan Karangsari bekerjasama dengan PAN Indonesia dan Yayasan Kehati.

Masyarakat Petani

Desa dan Petani merupakan dua kata yang tak dapat terpisahkah satu dengan yang lainnya. Desa adalah tempat dimana petani menjalani kehidupannya. Desa tidak sekedar bermakna teritorial yang secara wilayah berbeda dengan kota dalam ciri geografis dan ekologis, tetapi desa juga mempunyai karakter sosial yang unik. Banyak ilmuwan telah meneliti tentang apa itu desa dengan karakter sosialnya. Berbagai pandangan muncul sebagai bentuk penjelesan tentang desa dan masyarakat petani.

Wolf (1983) memahami masyarakat petani merupakan fase setelah masyarakat primitif dan masyarakat modern. Pendekatan antropologis yang ia bangun didasarkan atas bahwa masyarakat petani tidak bisa hanya dipandang sebagai agregat tanpa bentuk. Masyarakat petani memiliki keteraturan dan memiliki bentuk-bentuk organisasi yang khas.

Sejalan dengan Wolf (1983), Scott (1981) melihat petani sebagai entitas unik yang hidup secara subsisten. Subsisten dipahami sebagai cara hidup pemenuhan kebutuhan sampai batas aman. Penelitian Scott (1981) yang pada akhirnya diketahui dibiayai oleh CIA mengungkapkan bahwa masyarakat petani di Asia Tenggara tidak akan melakukan gerakan perlawanan ketika kebutuhan-kebutuhan dasarnya terpenuhi. Etika subsistensi meruapakan pola hidup petani yang tidak berorientasi komersiil. Penelitian ini juga membedakan terminologi masyarakat petani (Peasant) dengan pola subsistensi dan farmer dengan pola komersiil. Scott menjelaskan tentang salah satu keunikan masyarakat petani yang dipandang wolf sebagai masyarakat yang bukan primitif dan bukan pula modern. Subsistensi sebagai kata kunci menjelaskan kondisi ini. Scott juga mengungkap adanya social security yang menjelaskan adanya hubungan-hubungan multistanded dalam pola kehidupan petani. Jaminan-jaminan yang ada dalam masyarakat petani dapat dipandang sebagai sebuah sistem yang mendukung subsistensi petani. Adanya hubungan patron-klien merupakan ciri masyarakat petani untuk melangsungkan kehidupannya. Dalam memahami masyarakat petani, Redfield mengungkapkan gejala shared poverty sebagai salah satu karakteristik kehidupan petani. Pandangan ini sejalan dengan pemahaman scott tetang asuransi sosial.

Sementara popkins (1980) mengungkapkan rasionalitas petani dalam konteks ekonomi politik. Masyarakat petani bukan sekedar entitas yang stagnan tetapi secara dinamis petani juga mempunyai rasionalitas untuk menentukan jalan hidupnya. Berbagai kebutuhan dipenuhi secara rasional termasuk dalam transaksi-transaksi ekonomi. Bila dipetakan, pandangan popkins menganggap masayrakat petani tidak sekedar masyarakat yang subsisten seperti yang dipahami oleh scott.

Lebih lanjut dalam pembahasan ekonomi pedesaan, Boeke (1982) memperkenalkan teori ekonomi ganda (Dualistic Economics). Di pedesaan terjadi dua tipe ekonomi yang berlainan yang berjalan dalam suatu sistem sosial. Misalnya sistem kapitalis awal (early capitalism) dan kapitalis tingi (high capitalism). Sistem yang pertama identik dengan sistem dari dalam, dan sistem yang kedua identik dengan sistem dari luar. Kedua sistem ini berjalan secara dinamis dalam satuan pedesaan. Chayanov merupakan ilmuwan yang memberi penjelasan bahwa masyarakat petani khas karena memiliki karakteristik yang berbeda dengan masyarakat modern. Menurutnya, masyarakat petani mempunyai economic logic yang berbeda. Baik Boeke dan Chayanov mempunyai pandangan yang hampir sama dalam pembahasan ini.


Matrik Penjelasan tentang Masyarakat Petani

Tokoh

Redfield

Wolf

Scott

Popkins

Boeke

Chayanov

Buku Acuan

Masyarakat Petani dan Kebudayaan

Petani suatu tinjauan antropologis

Moral Ekonomi Petani ; Pergolakan subsistensi di Asia Tenggara

The Rational Peasant; The Political Economy of Peasant Society

Memperkenalkan teori ekonomi ganda dalam buku Bunga rampai Perrekonomian desa

Karya Chayanov ditinjau kembali

Ciri-ciri Masyarakat Petani

Memiliki jejaring dalam distribusi ekonomi dan sosial

Merupakan masyarakat yang berbeda tipe dengan masyatakat primitif dan modern

Pola hidup subsisten dengan mengutamakan keamanan pemenhunan kebutuhan pokok.

Memliki rasionalitas untuk menentukan atas pilihan-pilhan dalam pencapaian kesejah teraab hidup

Terdapat dua sistem ekonomi yang berbeda dan secara dinamis membentuk kesatuan sistem yang berjalan beriringan

Terdapat logika ekonomi yang berbeda dengan masyarakat modern yang mempunyai 5 pilar pendukung. Dalam masyarakat petani pilar ”upah” tidak ada.

Istilah Kunci

Shared Poverty

Masyarakat khas antara primitif dan modern

Social insurance,

Rational Peasant

Dualistic Economic

Peasant Economy, integrasi horizontal vs vertikal

Objektivitas dan Subjektivitas

Objektivitas dan Subjektivitas berkaitan dengan apa-apa yang ada di dalam dan diluar pikiran manusia. Dalam pemahaman ini, objektivitas berarti hal-hal yang bisa diukur yang ada di luar pikiran atau persepsi manusia. Sedangkan subjektivitas adalah fakta yang ada di dalam pikiran manusia sebagai persepsi, keyakinan dan perasaan. Pandangan objektif akan cenderung bebas nilai sedangkan subjektif sebaliknya. Keduanya memiliki kelebihan-kekurangannya. Dalam tradisi ilmu pengetahuan objektivitas akan menghasilkan pengetahuan kuantitatif sedangkan subjektivitas akan menghasilkan pengetahuan kualitatif.

Misalnya kita mengukur meja dengan tinggi 2 meter, ini adalah fakta objektif. Persepsi seseorang tentang meja yang sedang kita ukur akan sangat beragam, misalnya menganggap meja jelek, sedang, atau bagus. Nilai yang dihasilkan oleh penelitian secara objektif menghasilkan kebenaran tunggal, untuk kemudian akan runtuh jika ada hasil lain yang menunjukkan perbedaan. sementara penelitian secara subjektif cenderung majemuk, amat bergantung pada konteks.

Objektivisme berdasarkan pada kejadian yang sesungguhnya. Sedangkan subjektivisme berdasarkan pada pendapat orang tersebut bahwa sesuatu “ada” karena dianggap hal tersebut memang “ada”.

Asumsi

Objektif

Subjektif

Ontology

Realism

Nominalism

Menganggap bahwa dunia sosial dibentuk dari sesuatu yang berwujud, dan tidak mudah berubah.

Menganggap dunia sosial di luar hanya merupakan nama, konsep, dan labil.

Epistemology

Positivism

Post-positivm

Mencoba menjelaskan dan memperkirakan apa yang terjadi dalam dunia sosial dengan melihat keteraturan dan hubungan sebab akibat.

Menganggap bahwa dunia sosial hanya dapat dimengerti dari sudut pandang individu yang secara

langsung dalam kegiatan penelitian tersebut

Human nature

Determinism

Voluntarism

Menganggap bahwa manusia dan aktivitasnya tergantung dari lingkungan tempat dia berada.

Menganggap bahwa manusia mempunyai kehendak

Atas aktivitasnya.

Methodology

Nomothetic

Idiographic

Penelitian harus berdasarkan aturan- aturan yang sistematis.

Peneliti hanya dapat mengerti apabila langsung terjun ke subjek yang sedang diteliti.

Rujukan:

A.F. Chalmers. 1983. Apa itu yang dinamakan Ilmu?. Hasta Mitra. Jakarta

Gibson Burrel, and Gareth Morgan, Sociological Paradigms and Organisational Analysis

Independensi LSM dalam Dinamika Masyarakat Pedesaan

Oleh : Husain Assa’di

Ikhtisar
Perkembangan LSM dari sisi jumlah pada dua dekade terakhir begitu mengesankan. Secara ideal, LSM bekerja pada ranah civil society dan berperan untuk melakukan aksi pemberdayaan secara bottom up berhadapan dengan ranah pemerintah dan pasar secara independen dan bukan merupakan bagian dari pemerintah dan pasar. Pada saat yang sama, banyak diantara LSM berada dalam ketergantungan dana dengan pemerintah dan pasar. Pada situasi inilah LSM dihadapkan pada pilihan antara idealisme keberpihakan dengan civil society, sementara ketergantungan dana dengan negara dan pasar disinyalir juga menghasilkan sinergitas kepentingan. LSM pada satu sisi melakukan pemberdayaan atas civil society pada saat bersamaan tergantung dengan negara dan pasar.

LSM dan Komunitas Lokal
Modernisasi dengan konsep pertumbuhan ekonomi sebagai strategi pembangunan, telah dijalankan oleh Bangsa Indonesia dalam membangun. Pembangunan pedesaanpun tidak lepas dari strategi ini. Shepherd (1998) menyebutnya sebagai paradigma lama pembangunan pedesaan (old paradigm of rural development). Dharmawan (2002) memberikan ilustrasi pendekatan pembangunan ini sebagai pendekatan yang sarat dengan pesan-pesan ekonomi, pertumbuhan, perubahan nilai budaya lokal, westernisasi, dan investasi modal.
Shepherd (1998) mengemukakan altematif pendekatan pembangunan dengan paradigma baru yang berbeda dengan paradigma lama. Paradigma ini memberi peluang yang lebar untuk mengentaskan masyarakat pedesaan dari keterpurukan. Paradigma bam pembanguan pedesaan mempunyai karakteristik menghargai setting lokal atau potensi sosial-ekonomi dan sosial-budaya lokal. Dengan demikian paradigma ini mengedepankan pengembangan dan penguatan potensi lokal, sehingga masing-masing tempat akan berbeda sesuai potensinya.
Dengan berkembang dan menguatnya potensi lokal dalam hal ini pada ranah sipil, maka konstelasi kekuasaan dalam pembangunan akan lebih seimbang berhadapan dengan ruang negara. Pembangunan pedesaan berkelanjutan juga memberikan kekuatan ekonomi lokal dalam berhadapan dengan kekuatan kapitalisme global (Dharmawan, 2002).
Pada titik inilah diperlukan organisasi gerakan sosial untuk menginisiasi dan menggerakkan masyarakat pedesaan berjuang melawan keterpurukan. Tepatlah bila LSM sebagai wujud konkret organisasi gerakan sosial terjun langsung dalam proses ini. Pengembangan Komunitas sebagai sebuah strategi pembangunan pedesaan paradigma baru, memerlukan kejelian dalam mengidentifikasi potensi ragam komunitas yang ada. Kemudian, bersama-sama komunitas mengembangkan potensi tersebut.

Paradoks LSM dalam diskursus Pembangunan Pedesaan
Pada era reformasi pasca runtuhnya Orde Baru, LSM muncul bak jamur dimusim penghujan. Kesadaran untuk melakukan aksi pembangunan yang bottom up, direspon positif oleh beberapa kalangan di Indonesia. Kerangaman LSM juga sangat tinggi (Fakih, 2000), keragaman LSM tidak hanya merupakan betuk keragaman nama yang sama idealismenya untuk ‘memberdayakan’ masyarakat. Lebih dari itu, sebagian LSM sebenarnya merupakan kepanjangan tangan pemerintah untuk mensukseskan programnya, dan sebagian lagi merupakan kepanjangan tangan dari para kapitalis yang ingin mensukseskan kepentingan mereka (Ufford, 2002). Sehingga menurut penulis LSM berada posisi yang makin rumit ditengah idealisme sebagai LSM dan sebagai agen dari berbagai macam kepentingan.

Di tengah globalisasi yang bergulir tak terhentikan LSM tidak sekedar menjadi aktor lokal yang bergerak dalam lingkup geografis yang terbatas. Pembatas geografi sudah tidak menjadi penting, terbuka luasnya hubungan antar negara juga membuka terbentuknya jaring-jaring baru yang makin rumit. Friedman (1992) juga melihat adanya posisi politik yang penting dimainkan oleh LSM ditengah beragam kepentingan. Misalnya saja LSM yang menjadi kepanjangan tangan perusahaan multinasional yang beraktifitas untuk melakukan aksi pengembangan komunitas di tengah hutan Kalimantan, mereka sudah ada pada posisi hubungan dengan perusahaan di negara lain. Ada LSM yang menjadi kepanjangan tangan LSM luar negeri. Dan ada LSM yang menjadi kepanjangan tangan pemerintah negara lain. Terlepas dari definisi LSM sebagai Organisasi Non Pemerintah (ORNOP), LSM semakin kompleks dengan jejaring yang ada. Pemerintah mempunyai LSM, Perusahaan memiliki LSM dan masyarakat sipil juga mempunyai LSM yang kesemuanya tidak hanya berkutat pada wilayah dalam negeri tetapi juga lintas batas luar negeri. Peristiwa tsunami di Aceh dapat menjadi pelajaran yang berharga untuk memahami masalah ini.
Strategi pemberdayaan masyarakat lewat agen LSM tidak bisa dilepaskan dari kepentingan ‘atasan’ LSM tersebut. LSM tidak bisa dilepaskan dari dominasi struktur yang ada. Ufford (2002) melihat gejala ini sebagai “kritik moral pembangunan” dimana pembangunan tidak bisa dilepaskan oleh hegemoni negara yang pada hakikatnya merupakan hegemoni pasar (kapitalis). Misalnya dalam pengembangan komunitas pada industri tambang, LSM tetap dalam koridor untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya bagi perusahaan. Aktifitas pengembangan masyarakat dipandang sebagai program untuk meredam konflik masyarakat setempat dengan perusahaan. Sehingga apa-apa yang dilakukan lebih dari sekedar untuk menjadikan masyakat ‘diam’, tentu dengan memenuhi kebutuhan masyarakat dalam jangka pendek. Menurut aktifis yang melaksanakan langsung program ini, posisi LSM tidak lebih dari pion perusahaan yang digerakkan untuk menjaga stabilitas.
Melihat dan memahami realitas ini, apakah LSM masih menjadi tumpuhan harapan untuk terciptanya masyarakat sipil yang kuat? Tentu jawabnya adalah tidak selalu, pada awalnya idealisme pembentukan LSM untuk memberikan solusi untuk menguatkan posisi masyarakat sipil adalah ideal. Pada titik inilah perlu adanya penguatan potensi LSM sebelum terjun untuk memperkuat masyarakat. Dalam arti lain, perlu independensi LSM untuk berhadapan dengan pemerintah dan pasar. LSM seperti ini akan memperkuat posisinya sekaligus menginisiasi penguatan potensi masyarakat lokal. Karena masyarakat sipil juga terdapat potensi-potensi besar yang dapat digunakan untuk melakukan hal ini.
Tulisan ini menganggap bahwa LSM tidak perlu dipandang terlalu pesimis sebagai agen untuk memberdayakan masyarakat, walaupun banyak LSM yang mengambil peran tidak ideal. LSM perlu membuat jaringan yang kuat secara global dengan ideologi pembebasan yang independen dengan kepentingan pemerintah dan pasar. Kerjasama dengan pemerintah dan pasar hanya dilakukan kalau sesuai dengan idealisme ini, diluar itu LSM harus independen. LSM juga perlu mewaspadai jebakan yang dibuat oleh pemerintah dan pasar demi kepentingan mereka.

DAFTAR PUSTAKA
Billah, M.M. dan Nusantara, Abdul Hakim G. 1988. Lembaga Swadaya Masyarakat di Indonesia Perkembangan dan Prospeknya. Prisma No 4, Tabun XVII. LP3ES. Jakarta
Budiman, A. 1988. Menampung Aspirasi Masyarakat Lapisan Bawah. Prisma No 4, Tabun XVII. LP3ES. Jakarta .
Christenson, J. A. and Jerry W. R. (00). 1989. Community Development in Perspective. Iowa State University Press.
Daldjoeni, N dan Suyitno, A. 1986. Pedesaan, Lingkungan dan Pembangunan. Penerbit Alumni. Bandung
Dharmawan, A. H. 2002. Modul Pengembangan Komunitas Pedesaan Berkelanjutan. Program Magister Profesional Pengembangan Masyarakat. Sosek. Institut Pertanian Bogor
Dharmawan, A.H. 2001. Farm Household Livelihood Strategies and Socio¬Economics Changes in Rural Indonesia. Wissenchaftsverlag Vauk kie!
Dos Santos (1970) The structure of dependence American Economic Review
Eldridge, P .1989. LSM dan Negara. Prisma No.7. LP3ES. Jakarta
Eyerman, R dan Jamison, A. 1991. Social Movement. Smelser (eds) pp. 37-54
Fakih, M. 2000. Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial: pergolakan ideologi LSM Indonesia. Pustaka Pelajar. Y ogyakarta
Farrington, J et al. 1999. Sustainable Livelihoods in Practice: Early Aplications of Concept in Rural areas. ODI Natural Resources Perspectives. Number 42 June 1999. Overseas Development Institut.London
Federke, J et al . 1999. Economic Growth and Social Capital: A critical Reflection. Kluwer Academic Publishers Netherlands.
Fernando Henrique Cardoso (1982) “Dependency and Development in Latin America”
Frank, Andre Gunder (1969) The Development of Under Development in Latin America: Underdevelopment or Revolution. New York: Mounthly Review Express.
Frank, A.G. 1973. The Development of Underdevelopment in C.K Wilber The Political Economy of development. Random house. New York
Friedman, John. 1992. Empowerment. The Politics of Alternative Development. Blackwell. Cambridge. Massachusssetts. USA
Glen, A. 1993. Methods and Themes in Community Practice. In Butcher, H e al .(eds) Community And Public Policy. London
Humper, C. L. 1989. Exploring Social Change (Capter Seven: Social Movement, p.125-144)
Ife, J. 1995. Community Development, Creating community alternatives-vision, analysis and practice. Longman House. Melbourne.
Ismawan, B. 2002. Pemberdayaan Orang Miskin. Puspa Swara. Jakarta
Jenkins, J. C. 1983. Resource Mobilization Theory and The Study of Social Movements. Annual Review of Sociology. Vol. 9
Johnson, D. PI. 1981. Sociological Theory Classical Founders and Contemporary Perspectives. John Wiley & Son. New York
Kornblum, W.1988. Sociology in Changing World. New York. Holt, Rienenlt and Winston
Korten,D.C.1988. LSM Generasi Keempat: Fasilitator Gerakan Kemasyarakatan. Prisma No 4, Tabun XVII. LP3ES. Jakarta
_____, 1993. Menuju Abad ke-21 Tindakan Sukarela dan Agenda Global. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta
Light, K & Calhoun. 1989. Sociology. New York: Alfred A. Knopf
Martell, L. 1994. Social Movement and Social Change. C. Universuty. New York
Rostow, W.W. 1964. The stages of economic Growth: A Non CommunistManifesto. Cambridge University Press. New York:
Sayogyo. Modernization without development.
Shepherd, A.1998. Sustainable Rural Development. Macmillan. Basingstoke and London
Siregar, A. E. 1988. Pertumbuhan dan Pola Komunikasi LSM/LPSM. Prisma No 4, Tabun XVII. LP3ES. Jakarta
Sugiyanto. 2002. Lembaga Sosial. Global Pustaka Utama. Y ogyakartaSunarto, K. 2000. Pengantar Sosiologi. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Idonesia.
Susanto, H dan Isbat. 2000. Metodologi Penilaian Pemberdayaan. Pembangunan Berbasis Pemberdayaan (Kasus Kalimantan Barat). PT. Sarbi Moerhani Lestari. Bogor
Sutrisno. 2000. Pendekatan Partisipasi dalam Pembangunan. Pembangunan Berbasis Pemberdayaan (Kasus Kalimantan Barat). PT. Sarbi Moerhani Lestari. Bogor Kecamatan). Makalah Seminar.
Ufford, PQ. Dan Giri, AK. 2002. Kritik Moral Pembangunan. Kanisius. Jakarta
Uphoff. N. 1986. Local Institutional Development: An Annual Sourcebook, with Cases. Kumarian Press. West Hartford

Wednesday, April 9, 2008

gelisah untuk berfikir

Orang-orang yang berfikir adalah mereka yang senantiasa gelisah. Kegelisahan itu sendiri adalah bukti adanya kedinamisan berfikir. Segala sesuatu yang merupakan hasil dari pemikiran harus terus dipertanyakan dan diaktualisasikan dengan konteks yang juga selalu berubah.

Seorang pemikir juga harus mempunyai keberanian untuk – jika diperlukan – menabrak pakem atau aturan yang membelenggu kebebasannya. Bahkanpun jika ada ajaran agama yang tidak logis (atau menurutnya tak logis) tetap akan dipertanyakan dengan dasar-dasar yang akurat dan bukan sekedar protes membabi buta.

Seorang pemikir, kadangkala juga terpaksa berhadapan dengan pendapat umum tentang suatu kebenaran. Kebenaran yang dibawa seseorang tidak jarang bertentangan dengan kebenaran banyak orang. Ini tidak perlu dirisaukan. Yang penting adalah bahwa masing-masing pihak saling menghormati dan senantiasa terus mencari kebenaran yang sejati.


Untuk menjadi seorang pemikir, mungkin bagus jika memulainya terlebih dahulu sebagai pengamat. Ia mengamati dengan cermat segala hal yang menjadi ladang pemikirannya: bisa secara langsung atau lewat sumber-sumber lain yang relevan (buku-buka, data, informasi pihak lain, dll.)

Dari pengamatan itu, data dan fakta diformulasikan, di-cross check dan dikronologikan. Kemudian ditarik hal-hal substansial yang menjadi ujung benang merahnya. Semacam metode ilmiah yang lebih praktis.

Proses ketertarikan seseorang menjadi pemikir, biasanya dimulai dari hal-hal yang kecil yang unik dan membawa suasana fun. Misalnya: senang pada bacaan-bacaan ringan yang tak membuat dahi berkerut. Jika proses ini berlanjut, ia harus mulai merambah hal-hal mendasar, ilmu-ilmu beneran sebagai pijakan proses berfikirnya. Proses ini tentu saja tak sebentar, masing-masing orang berhak menentukan tahapannya sendiri dan memasukkan input yang terbaik untuk perkembangan pemikirannya.

Dan tentu saja tak setiap orang harus jadi pemikir. Ada sunatullah yang mengatur peran dan posisi sosial tiap-tiap manusia supaya kehidupan bisa terus berjalan. Seorang pemikir tak memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada orang yang tak suka berpikir. Yang harus dikembangkan adalah sikap toleransi dan saling menghormati.

Tapi barangkali, seorang pemikir yang gelisah adalah suatu kutukan. Adakah kebahagiaan yang bisa diperoleh dalam kegelisahan? Ataukah kegelisahan yang terus menerus ini akan menemukan kebahagiaan di ujungnya?